Shiba menyandarkan tubuhnya di bangku panjang di sebuah taman. Ia
memandang amplop berwarna putih berisi kertas hasil pemeriksaannya di
rumah sakit barusan. Perlahan ia merobek-robek amplop itu tanpa
membukanya.
“Hidupku tak lebih hancur dari benda yang kurobek-robek ini.” Ia berdiri
lalu menginjak-nginjaknya. Sekejap sobekan amplop itu telah berbaur
dengan tanah becek di taman itu.
“Setidaknya dengan begini aku tak membebani siapa pun.”
“Aku harus melanjutkan hidupku seolah-olah tak ada hal buruk menimpaku!”
Shiba beranjak meninggalkan taman tempat bermainnya semasa kecil. Roda
waktu serasa melaju sangat kencang, setidaknya setelah mengetahui hasil
check-up itu.
Ia mengetuk sebuah pintu rumah bercat coklat tua. 1, 2, 3 kali, keluarlah tuan rumahnya.
“Aku kira kau takkan datang, Kak Shi..” katanya. Lalu ia menarik tangan
Shiba masuk ke dalam rumah yang telah dipenuhi para undangan.
“Kemarin bibi bilang kakak sedikit deman, jadi tadi aku tak menghubungi
kakak tadi, aku tak mau menganggu istirahat kakak.” Kata gadis itu.
Namanya Cilla, berselisih 3 tahun dengan Shiba.
“Oh, ya..” Shiba memakaikan sebuah mahkota yang dibuatnya dari akar-akar
pohon dan dihiasi bunga melati di kepala Cilla. Shiba membuatnya
jauh-jauh hari sebelum ulang tahun ke-17 gadis itu.
“Bagaimana, kau suka tuan putri?”
Kedua pipi Cilla seketika memerah. Kedua bibirnya seolah ingin
melontarkan banyak hal, namun tertahan. Ia memalingkan muka dari Shiba
yang masih bertahan dengan senyum di hadapannya.
“Cilla.. Happy Sweet Seventeen Birthday!!” kata Shiba seraya memeluk gadis itu.
“Bisakah kau hidup selamanya dihatiku? Jika suatu saat aku meninggalkanmu?”
“Maksud kakak?”
“Cilla tau, kan? Di dunia ini tak ada yang abadi. Semua pasti kembali
kepada Sang Pencipta..” perkataan Shiba seolah menghentikan detak
jantung gadis yang sedang berada di pelukannya itu.
“Engg..gg.. sudah lupakan saja ucapanku tadi. Harusnya kita
bersenang-senang dengan mereka, bukan?”
Shiba menunjuk undangan yang
tengah mengerumuni sebuah meja dengan kue tart berhias 17 lilin di
atasnya. Meski masih tak menangkap maksud perkataan Shiba sebelumnya,
Cilla mengikuti gerak langkah Shiba menghampiri teman-temannya di sana.
Lanjutkanlah seolah tak ada hal buruk yang sedang menimpa, bukankah
sebaiknya begitu?
Cilla berada tepat di depan 17 cahaya lilin dengan Shiba di sampingnya.
“Don’t forget to make a best wish, Princess..” bisik Shiba pada gadis
bak seorang putri di sampingnya itu. Cilla menghela nafas, memejamkan
matanya..
Untuk yang terjadi sedetik yang lalu, sedetik dikemudian waktu, aku
harap, Tuhan memberkati kami kekuatan tanpa batas untuk melanjutkan
sebentang kehidupan yang terhampar di hadapan kami, seolah tak ada satu
hal buruk pun yang menimpa. Batin Cilla mengucapkan. Lalu satu per satu
cahaya ke 17 lilin itu padam ditiupnya. Semua undangan kemudian
menyanyikan lagu potong kue untuknya. Tak terasa sepotong demi sepotong
kue telah dibagikan untuk para undangan.
Laju roda waktu untuk melewati senyuman dan mendatangkan air mata memang
secepat kilat. Setidaknya untuk mereka yang sedang tertimpa hal buruk,
Shiba. Pusing, pening itu kini tengah melayang-layang di ubun-ubunnya.
Memaksanya meninggalkan alam kebahagiaan sejenak lebih awal. Shiba
mendekati Cilla yang tengah asyik bercanda tawa dengan teman-teman
sekolahnya.
“Bolehkah aku bersama Tuan Putri untuk sekejap?” katanya di hadapan
teman-teman Cilla yang rata-rata adalah perempuan. Mereka senyum-senyum
dan mengangguk-angguk, lalu salah seorang teman Cilla meletakkan tangan
Cilla di atas tangan Shiba.
“Nikmatilah waktu kalian, sobat!!” katanya. Shiba membawa Cilla menuju
taman belakang yang berhubungan langsung dengan sebuah danau. Mereka
duduk di atas perahu yang terikat di pohon di pinggir danau.
“Masih tak menangkap maksud perkataanku beberapa waktu yang lalu?” tanya
Shiba pada Cilla yang baru saja menyandarkan kepalanya di bahu Shiba.
“Ini sebuah teka-teki untukku, Kak. Bisakah kakak tak berlama-lama
membuat hatiku bertanya-tanya?” kata Cilla sambil merapikan rambut ikal
coklatnya yang ditiup angin.
Shiba memberikan selembar kertas yang terlipat kepada Cilla. Gadis itu
menerimanya tanpa bertanya lalu membukanya tanpa ragu. Ia baca satu
persatu kalimat yang tercantum di kertas itu.
“Apakah ini hadiah ulang tahun untukku, Kak?” tanya Cilla lirih.
Setetes demi setetes air matanya jatuh membasahi kertas yang
dipegangnya itu. Shiba menyeka air mata gadis itu dengan ibu jarinya.
Cilla menahan paksa agar air itu berhenti mengalir di pipinya. Memaksa
hatinya untuk menerima sebuah kenyataan pahit di hari bahagianya itu.
“Aku sengaja menyembunyikan ini dari semua orang karena aku tak mau
mereka merasa terbebani, itu saja, tak lebih.” Suara Shiba tak sehalus
tadi kepada Cilla. Ia mulai acuh dengan gadis itu.
“Mengapa kakak tau berusaha mengobatinya?”
“Mengobatinya? Percuma saja!! Hanya buang-buang uang, tenaga, dan waktu.”
“Kakak berubah! Bukan Kak Shi seperti yang aku kenal dulu!”
“Sudahlah.. umurku tak lama lagi. Ini adalah terakhir kalinya kita bertemu dan bersama. Apa pesan terakhirmu untukku, Cilla?”
Cilla melepas mahkota yang di kepalanya lalu meletakkanya di samping Shiba. Shiba meraihnya lalu membuangnya ke tengah danau. Cilla tak dapat menahan air matanya lagi. Ia bangun dan berlari meninggalkan Shiba sambil menangis. Shiba tetap diam, tak beranjak untuk mengejar gadis yang dicintainya itu. Ia mengambil kayuh yang tertancap di samping perahu lalu mengayuh perahu menuju rumahnya di seberang.
Sesampainya di sana, hanya lampu di gerbangnya saja yang menyala. Shiba mengetuk pintu namun ternyata pintu tak dikunci. Ia langsung masuk tanpa menyapa. Ia menaiki tangga menuju kamarnya, berjalan sedikit gontai.
“Hosh..!! hosh!! Jangan sekarang..”
“Biarkan aku berbaring dulu…”
Ia dobrak pintu kamarnya. Ia masih ingat, sebelum pergi ke rumah sakit, ia kunci pintu kamarnya, lalu ia meletakkan kunci kamarnya itu di dapur. Pintu kamar terbuka dan ia segera mendekati tempat tidurnya.
“Baiklah.. di tempat yang teramat sangat berantakan ini, kusampaikan pada malaikat yang bertugas mencabut nyawaku..” nafasnya mulai tersendat-sendat.
“Ambillah apa yang kau perlukan, lalu berilah apa yang kuinginkan..” Shiba menarik sisa nafasnya dalam-dalam..
“Sekian dan terima kasih.” Laju roda waktu seketika berhenti. Ia pergi dan tak akan kembali.
Shiba terbang menuju kumpulan awan putih di langit paling atas. Sesampainya di sana ia melihat sebuah tempat seperti sebuah desa. Ia mengintip dari celah di pintu gerbang. Bangunan di kanannya berwarna putih dan di kirinya berwarna hitam. Penghuni bangunan putih itu tampak sangat bahagia dan penghuni bangunan hitam sebaliknya. Melarat, tersiksa, sungguh mengerikan! Ketika Shiba hendak memasuki gerbang, seseorang yang menghuni sebuah bangunan kecil mirip post satpam, mengintrogasinya.
“Siapa namamu, anak muda?” tanyanya.
“Shiba, Pak.”
“Kamu meninggal karena apa?”
“Sakit, Pak.”
“Sakit apa?”
“Kanker hati, Pak.”
“Oh, ya?”
“Ya, Pak.?”
“Baiklah, silahkan masuk.” Lalu gerbang itu terbuka dengan sendirinya. Namun yang ada di hadapannya hanya hamparan bangunan hitam-hitam. Jerit, tangis terdengar sangat jelas. Hawa sejuk tiba-tiba mendadak panas menyengat. Membakar kulit Shiba.
“Aku tidak masuk surga, ya?” gumamnya.
“Tidak. Karena kau begitu menyianyiakan segala yang diberikanNya padamu semasa hidup. Kau sama sekali tak berjuang untuk mempertahankan satu hal pun. Sekarang nikmatilah tempat tinggal barumu!” sebuah suara entah darimana sumbernya menjawab segala pertanyaan hati Shiba. Dengan tertatih-tatih Shiba menapaki jalan menuju ujung Neraka.
“Lanjutkan! Seolah-olah tak ada satu hal buruk pun yang sedang menimpa.” Gumamnya dengan lirih.
Cerpen Karangan: Triyana Aidayanthi
Sumber : cerpenmu.com
0 komentar:
Posting Komentar