Mari kembali ke awal 1990-an.
Berkat prestasi menjulang AC Milan pada kurun waktu itu, setelah keterpurukan skandal Totonero, sorotan penuh sepakbola dunia mengarah ke Milanello.
Trio Belanda masih berada pada periode keemasannya. Ruud Gullit, Frank Rijkaard, dan Marco van Basten. Tiga pemain Oranje yang selalu diandalkan pelatih Arrigo Sacchi, dan tak tergantikan. Saat Sacchi meninggalkan posnya untuk menjadi arsitek timnas Italia pada 1991, pelatih tak bereputasi Fabio Capello muncul sebagai penerusnya.
Status kebintangan itu ternyata mengakibatkan kepongahan bagi skuad Rossoneri. Sebuah bumerang. Saat berupaya mempertahankan gelar raja Eropa pada Liga Champions 1991, para pemain bintang ini bertingkah.
Pada pertandingan perempat-final Liga Champions, Milan berhadapan dengan klub tak diunggulkan asal Prancis, Olympique Marseille. Klub kota pelabuhan itu dimiliki rekan Berlusconi, Bernard Tapie, yang juga berambisi merajai Eropa. Franz Beckenbauer, pelatih juara dunia 1990, direkrut menjadi arsitek tim. Para pemain andalannya seperti Carlos Mozer, Chris Waddle, Abedi Pele, Dragan Stojkovic, Basile Boli, dan kapten Jean-Pierre Papin.
Hasil di atas lapangan berbicara. Leg pertama di San Siro, kedua tim bermain imbang 1-1. Di stadion Velodrome, Milan sadar harus mendulang gol jika ingin lolos ke babak selanjutnya. Hingga dua menit sebelum pertandingan berakhir, Rossoneri tak kunjung mencetak gol. Entah kebetulan entah tidak, lampu di satu sisi stadion mati. Para pemain Milan protes dan emoh melanjutkan pertandingan. Wasit menolak dan meminta pertandingan diteruskan. Instruksi itu diabaikan para bintang Milan dan mereka memilih meninggalkan lapangan. Buntutnya, UEFA menganggap Milan kalah WO dan memberinya sanksi larangan bermain di Eropa selama setahun.
Bagaimanapun, Capello mengubah Milan menjadi tim yang tak terkalahkan selama 58 pertandingan antara 19 Mei 1991 hingga 21 Maret 1993. Milan pun tak butuh waktu lama untuk kembali ke kompetisi antarklub terbaik Eropa itu. Musim 1992-93, mereka kembali masih dengan status sebagai juara Serie A. Kekuatan tim tak jauh berubah, masih diperkuat serangkaian pemain berkualitas -- asing dan domestik. Sebutan "The Dream Team" disematkan media untuk mereka.
Istilah tersebut sesungguhnya lebih dulu dipakai untuk menyebut tim bola basket Amerika Serikat menjelang Olimpiade Barcelona 1992. Sejak IOC menyetujui cabang bola basket dimainkan oleh pemain profesional -- demi menyedot penonton -- siapa lagi favorit penggondol medali emas kalau bukan AS, yang diperkuat jebolan NBA antara lain Michael Jordan, Earvin "Magic" Johnson, Larry Bird, Charles Barkley, Karl Malone, Scottie Pippen, David Robinson, Patrick Ewing, dan lain-lain. Kekuatan tim yang hanya pernah dapat dibayangkan di awang-awang.
Pers sepakbola gatal untuk menggunakan terminologi serupa. Dari sekian banyak klub kaya Eropa lain, dipilihlah Milan. Tak salah. Selain tampil tak terkalahkan, kala itu Milan diperkuat enam pemain asing sekaligus. Tak ada bandingannya di Eropa. Mohon maklum, sepakbola belum seperti sekarang ini. Jumlah pemain asing dibatasi maksimal tiga orang di atas lapangan, dan hanya klub kaya sajalah yang mau menghambur-hamburkan uangnya untuk memainkan tiga orang di lapangan dan mendiamkan tiga yang lain di bangku cadangan.
Trio Belanda masih memperkuat tim. Jean-Pierre Papin, Zvonimir Boban, dan Dejan Savicevic melengkapi slot yang tersisa. Milan juga mencetak rekor transfer termahal dunia saat itu dengan merekrut Gianluigi Lentini dari Torino senilai £13 juta.
Wajar kalau Capello dibebankan target untuk kembali menempatkan Milan ke tampuk yang sesungguhnya -- raja Eropa. Mohon maklum lagi, selain masih ada dua kompetisi antarklub Eropa lain saat itu, Piala Winners dan Piala UEFA, Liga Champions hanya menyertakan juara kompetisi domestik. Target yang sepadan dengan materi tim.
Tanpa banyak kesulitan, Milan melaju mulus ke final Liga Champions dengan rekor kemenangan 100 persen. Dalam 10 pertandingan, Milan mencetak 23 gol dan hanya kebobolan sekali.
Siapa yang sanggup menghadang laju Rossoneri? Ya, lagi-lagi Marseille. Dilatih pelatih kawakan Raymond Goethals; Didier Deschamps, Alen Boksic, Rudi Voeller, Franc Sauzee, Jocelyn Angloma, dkk. lagi-lagi menjadi batu sandungan Rossoneri. Sundulan Basile Boli ke gawang Sebastiano Rossi di stadion Olimpiade, Muenchen, memupus ambisi itu. Milan, "The Dream Team", runtuh.
Kelak Van Basten tidak pernah lagi turun ke lapangan hijau sejak final Liga Champions 1993. Pemain yang dijuluki fans Milan "San Marco" itu pensiun setahun setelahnya. Kelak pula gelar juara Marseille dicabut, tapi tidak diberikan kepada runner up, karena terbukti melakukan pengaturan pertandingan.
Awal musim 1993-94, skuad Milan dirombak besar-besaran. Capello dicibir, publik meragukan kapasitasnya mengulang sukses. Capello bergeming. Dua pemain favorit Sacchi, Gullit dan Rijkaard, dibuang. Gullit, yang vokal, dipinjamkan ke Sampdoria dan Rijkaard mudik ke Ajax Amsterdam. Selain Papin, Florin Raducioiu, dan Brian Laudrup, Capello lebih memercayakan Boban, Savicevic, dan pemain yang baru diboyong dari Marseille, Marcel Desailly, dalam skuadnya. Tapi, Milan sukses mempertahankan scudetto sekaligus mencetak rekor tiga musim berturut-turut menjuarai Serie A. Tinggal satu lagi tugas Capello, gelar Liga Champions!
Sempat tertatih-tatih dan tak terlalu meyakinkan, Milan mampu menekuk Paris St Germain -- dengan George Weah dan David Ginola -- yang lebih difavoritkan di semifinal. Lawan mereka di final Barcelona, yang dilatih Johan Cruyff dan diperkuat sederetan pemain hebat macam Ronald Koeman, Hristo Stoichkov, Romario, Miguel Angel Nadal, Josep Guardiola, dan Andoni Zubizaretta. Sebuah jelmaan "Dream Team" yang baru. Sialnya pula, Capello tak dapat memainkan duet pertahanan Alessandro Costacurta dan Franco Baresi di partai puncak karena cedera dan hukuman akumulasi kartu.
Athena pun menjadi saksi keruntuhan "Dream Team" yang lain lagi. Fans Barca yang mendominasi bangku stadion terbungkam oleh keakuratan strategi Capello. Setiap kali Ronald Koeman naik menyerang, setiap itu pula para pemain Milan memanfaatkan celah yang ditinggalkan. Daniele Massaro mencetak dua gol; Savicevic mencetak gol dari sudut mustahil; dan Desailly menuntaskannya. Milan menang besar 4-0. Pemain cadangan abadi macam Filippo Galli dan Stefano Nava pun turut merasakan indahnya menaklukkan Eropa pada sebuah malam gemilang di Athena.
Punah sudah era "Dream Team". Setelahnya, Dekrit Bosman diberlakukan sehingga klub-klub bebas menggunakan pemain asal Uni Eropa dalam skuadnya. Pembatasan pemain asing dihapus. Seiring dengan itu, restrukturisasi liga domestik Inggris menjadi Liga Primer mulai menampakkan hasil. Modal membanjir dan membuat klub-klub Inggris kaya mendadak. Chelsea membangun timnya dari kualitas para pemain asing, begitu juga Inter Milan di Italia.
Seorang pria ambisius bernama Florentino Perez menghidupkan kembali tim fantasi versinya sendiri bersama Real Madrid pada pergantian abad. Tapi di tengah situasi sepakbola modern yang makin mengandalkan kekuatan modal, bagi mereka yang pernah menggilai masa lalu sepakbola, takkan pernah ada lagi "The Dream Team" yang sesungguhnya...
Sumber: Goal.com
Rabu, 01 Oktober 2014
AC Milan, "The Dream Team" Yang (Nyaris) Tak Terkalahkan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar