Setiap pagi ku langkahkan kaki dengan ceria menuju Halte Bus dimana
akan ada bus yang membawaku ke tempat kuliahku. Ditemani sinar sang
mentari dan semilir angin di pagi hari.
Ku merasa sesak tinggal di kota metropolitan ini, asap kendaraan
mengudara dimana-mana. Sudah jarang ku temui pepohonan nan rimbun
disini. Aku hanya melihat tanaman layu yang mungkin telah dibuang oleh
pemiliknya. Sungguh miris.
Anak-anak jalanan pun memulai aksinya. Dengan semangat yang membara, Ia
mengitari satu persatu kendaraan yang sedang berhenti dengan nyanyian
yang cukup menghibur walau nadanya masih terbilang hambar.
Sampai pandanganku tertuju pada seorang lelaki tampan yang memakai jas
almamater nya dan menenteng sebuah tas jinjing. Ku perhatikan seluruh
pakaiannya dari atas hingga bawah. Sungguh sempurna.
Baru kali ini aku melihat lelaki sesempurna ini. Sialnya aku ketahuan
sedang memperhatikannya, Ia menatap ku dengan tatapan bingung dan
langsung tersenyum padaku. “Aa.. Indahnya senyum itu.” gumamku. Aku
membalas senyumnya dan langsung tertunduk malu. Tetapi tak lama Ia
langsung menaiki bus yang sejak tadi Ia tunggu. Seketika Ia telah
menghilang dari hadapanku. Aku merasa separuh jiwa ini telah pergi
bersamanya. Tapi, kali ini aku berusaha tersenyum tegar. “Masih ada hari
esok. Mungkin Ia akan menunggu bus di halte ini lagi.”
Suara klakson mini bus yang kutunggu sejak tadi telah mengagetkan
lamunanku. Langsung saja ku percepat langkah untuk menaiki mini bus itu.
Jika tidak, bisa-bisa aku tidak kebagian tempat duduk dan harus berdiri
memegang lingkaran hitam lepek selama perjalanan.
Di dalam bus, aku masih saja memikirkan lelaki tadi. Tampaknya aku
tak dapat melupakan begitu saja senyumnya yang menawan. Besok aku harus
menemuinya!
—
Pagi ini masih sama dengan pagi yang kemarin. Sebelum ku langkahkan
kaki menuju Halte Bus, aku sempat menenggakan segelas air putih untuk
meredakan dahaga.
Kali ini, aku sengaja berangkat lebih pagi dari biasanya. Karena ku
ingin menatap senyum lelaki itu lebih lama lagi. Dengan hati yang
berbunga-bunga ku lewati berbagai liku perjalanan ini. Kini, tak ku
rasakan lagi, sesak karena asap-asap kendaraan. Sekejap asap itu berubah
menjadi kabut putih yang menyelimuti pagi. Suara klakson dari kendaraan
yang sedang berlalu lalang pun berubah menjadi nyanyian merdu sang
bidadari. Pepohonan yang sedang layu pun bagaikan tumbuhan emas yang di
tanam di istana raja, begitu lebat dan rindang.
Ku pandangi seluruh orang yang ada di Halte Bus ini. Tetapi belum
juga kutemukan sosok lelaki yang ku cari. “Ah! Mungkin saja Ia belum
datang. Kan aku yang sengaja datang terlalu pagi” gumamku.
Setelah menunggu kira-kira 20 menit. Aku belum juga menemukan lelaki
itu. Senyum manis yang sedari tadi ku kembangkan perlahan berubah
menjadi senyum kecut yang hambar. Mataku telah lelah menggeliat ke
seluruh orang-orang yang sedang berkelebat di halte bus ini.
Tak lama, mini bus bewarna jingga menghampiri ku. Rasanya berat
sekali melangkahkan kaki dari Halte bus ini. Tapi aku tak punya waktu
lagi, karena jam bewarna merah muda yang melingkar di tanganku telah
menunjukkan pukul 07:15. Itu artinya 15 menit lagi kuliah pagi akan
dimulai.
Ku duduk dibangku depan bus. Ku pandangi jendela yang ada disebelahku
dengan tatapan kosong. Tapi.. betapa terkejutnya aku, ternyata lelaki
yang kutunggu sejak tadi, baru saja tiba di Halte itu.
Rasanya aku ingin turun lagi dari mini bus ini. Tapi bus ini sudah jalan
cukup jauh dari Halte itu. Ku lirik jam tanganku kembali. Aku hanya
bisa menghela napas panjang dan menenangkan hatiku.
Seminggu telah berlalu. Aku tak pernah menemui sosok lelaki itu lagi.
Aku sangat kecewa. Ku langkahkan kaki menuju ke Halte Bus biasa. Kakiku
terasa sangat lelah untuk berjalan. Aku hanya bisa tersenyum kecut pada
setiap orang yang ku lalui di sepanjang jalan.
Harapan untuk bertemu dengan lelaki itu pun telah kupendam dalam-dalam.
Hari ini jalanan terlihat cukup lega. Mungkin karena hari ini hari
libur. Aku terduduk di sebuah kursi yang memanjang di sekitar Halte ini.
Mataku terfokus pada Mini Bus bewarna jingga itu. Tak perduli lagi
orang-orang yang berkelebat di sekitar sini.
Aku menutup wajahku dengan kedua tanganku dengan bertopang dagu.
Perlahan kubuka mataku. Jantungku serasa berdetak 10x lebih cepat dari
biasanya, karena ku lihat lelaki yang dulu ku tunggu duduk disampingku.
Aku menarik napas panjang.
“Aku tak kan menyia-nyiakan kesempatan ini. Ia sudah berada dihadapanku.
Aku harus berkenalan dengannya” gumamku sambil mengumpulkan lagi
semangat yang dulu membara.
“Hai.” Ucapku padanya.
Ia langsung tersenyum kaget. Ia menatap ku. “Hai juga” balasnya.
“Kenalkan, aku Viona. Emm, kamu siapa?” ucapku gugup sambil menyodorkan tanganku padanya.
Ia meraih tanganku seraya berkata “Saya Alif”
Aku berusaha untuk tersenyum semanis mungkin padanya. Setelah cukup lama
aku berbincang dengannya, akhirnya kami bertukar nomor telepon. Sungguh
bahagia aku, kali ini.
—
Setelah menyelesaikan tugas kuliah, tiba-tiba handphone ku berdering. Tanda ada sebuah pesan masuk.
From : Alif
To : Viona
Message :
Vi, kamu lagi apa?
Bisakah kau menemuiku di taman dekat persimpangan jalan?
Ada yang aku mau bicarakan denganmu.
Aku langsung bergegas meninggalkan rumah. Aku berjalan menuju tempat
yang Alif perintahkan. Senyumku terus mengembang, walaupun tubuhku
sedikit kelelahan.
Aku sudah melihat Alif di sebrang jalan. Ia sedang memesan minuman yang
ada di pinggir jalan raya. Ku percepat langkah kakiku. aku ingin bertemu
dengannya, karena telah 4 hari ini aku tidak melihatnya di Halte.
Mataku menggeliat ketika melihat sebuah mobil xenia melaju dengan
kecepatan tinggi. Aku langsung menuju ke arah kerumunan orang. Aku
benar-benar tak percaya. Ternyata Alif dan seorang pedagang itu yang
telah menjadi korban pengendara mobil yang biadab. Seluruh tubuh Alif
berlumuran darah. Tanpa terasa air mataku telah mengalir deras.
Mobil ambulan kini telah datang untuk mengangkut Alif dan penjual
minuman tadi. Aku ikut bersama mobil itu. Ku bersihkan wajah Alif yang
masih berlumuran darah itu dengan tissue. Air mataku belum juga
mengering.
“Alif. Bangun” kata itu selalu kuucap selama perjalanan menuju ke rumah
sakit sambil kuguncang-guncang tubuhnya. Tetapi, Alif tak kunjung sadar.
Matahari telah tenggelam di ufuk barat. Perlahan gelapnya malam mulai
menjalar ke seluruh langit. Bintang-bintang mulai bersinar ditemani
sang Bulan. Angin malam pun telah menusuk kulitku. Tapi aku belum
beranjak dari sini. Aku akan menunggu sampai dokter keluar dari kamar
Alif dan mengatakan bahwa Alif akan baik-baik saja.
Setelah kira-kira menunggu 20 menit. Akhirnya dokter itu pun keluar
dari kamar Alif dengan wajah lelah. Aku pun langsung menghapirinya.
“Dok, bagaimana keadaan teman saya? Apakah Ia baik-baik saja?” ucapku lirih.
“Saya telah berusaha melakukan yang terbaik untuk teman anda. Tetapi
luka diotaknya cukup parah. Sepertinya Ia tak akan bertahan lama,
kecuali ada keajaiban yang datang padanya.” balas dokter itu.
“Apa saya boleh masuk ke dalam dok?” ucapku lagi
“Ya, tentu. Tadi saya menemukan ini di dalam kantong bajunya” ucap
dokter itu sambil menyerahkan secarik kertas coretan dan handphone Alif.
Dengan langkah yang berat. Aku masuk menuju kamar Alif. Ku duduk
disamping pembaringan Alif dan ku buka kertas itu. Ini memang hanya
sebuah coretan milik Alif. Tetapi aku menemukan namaku ‘Viona’
terpampang di paling atas. Aku berusaha memahami tulisan Alif yang tak
begitu jelas. Perlahan kubaca kata-kata itu.
___________________________
Viona.
Aku tak tau rasa ini muncul entah darimana.
Aku benar-benar ingin mengungkapkannya padamu.
Hari-hariku menjadi lebih bewarna selama aku mengenalmu.
Kau telah banyak mengajariku tentang arti sebuah cinta yang suci.
Dan kau pun telah menyadarkanku, bahwa selama ini kau adalah wanita yang ku cari.
Aku mencintaimu Viona.
Aku hanya bisa berharap kau juga memiliki perasaan yang sama denganku.
Bagiku engkau wanita yang sempurna.
Sungguh sangat berbeda denganku. Aku hanya seorang lelaki yang serba kekurangan.
Tapi akan ku usahakan, untuk memberikan cinta yang sempurna untukmu.
By: Alif
___________________________
Air mataku semakin tak terbendung. Ku genggam erat tangan Alif seraya berkata “Aku juga mencintaimu Alif.”
Kulihat jantung Alif berhenti berdetak. Aku langsung memeluknya. Seakan tak percaya oleh semua ini. Hatiku hancur lebur.
“Mengapa kau harus pergi Alif? padahal kita akan menjalin hubungan yang selama ini ku tunggu.
Alif. Kau lelaki yang sangat sempurna. Mengapa kau harus pergi secepat ini?”
Di atas gundukan tanah yang masih basah dan dipenuhi bunga-bunga, aku duduk bersimpuh.
“Semoga kau tenang disana Alif. Terimakasih telah memberiku kesempatan
untuk mengenalmu lebih jauh. Mungkin memang Tuhan telah menetapkan jalan
terbaik untukmu dan untukku. Entahlah. Yang aku tahu, aku sangat
mencintaimu.”
Cerpen Karangan: Tutut Setyorinie
Sumber : cerpenmu.com